Mimpi Sebuah Peradaban

Iman Sugema
Selasa, 24 April 2007

kompas-cetak151

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0704/24/opini/3469303.htm

Adalah tugas seorang ilusionis untuk menghibur penonton dengan sesuatu yang tidak mungkin terjadi menjadi seolah-olah terjadi.

Jika ilusionis bisa menggandakan uang, dari Rp 100.000 menjadi 100.000 dollar AS, ia akan menjadi amat kaya dan tak perlu minta bayaran untuk setiap kali pertunjukan. Bahkan, ia bisa diminta untuk menghapus kemiskinan di muka bumi. Kenyataannya, ilusionis tak pernah diminta membantu menghapus kemiskinan karena dari keahliannya tak mampu mengubah dunia. Itu hanya ilusi.

Berbeda dengan ilusionis, tugas seorang ekonom adalah memecahkan masalah- masalah perekonomian melalui karya nyata, bukan melalui ilusi atau mimpi.

Kita pernah memberikan predikat Bapak Pembangunan kepada Presiden Soeharto karena prestasinya dalam memacu pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 sampai 7 persen selama puluhan tahun. Jika tidak ada krisis moneter, predikat itu akan tetap melekat dan Soeharto tidak mengakhiri rezimnya dengan hujatan dan umpatan.

Kini kita sedang menyaksikan keajaiban ekonomi China. Selama dua dekade, pertumbuhan ekonomi China di atas 10 persen. Ribuan gedung mewah pencakar langit dengan cepat berdiri di berbagai kota besar.
Produk-produk murahnya membanjiri pasar dunia, membuat para kompetitor ketakutan. Keajaiban ekonomi seperti itu disusun dari hasil kerja keras dan konsistensi kebijakan selama puluhan tahun.

Mimpi Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia kini dan masa datang? Kondisi saat ini diliputi berbagai persoalan yang memicu pesimisme yang persisten. Meski pertumbuhan ekonomi sudah di kisaran 5,5 persen, kita tampak kesulitan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Mennakertrans memprediksikan, tahun ini kemungkinan jumlah pengangguran masih akan bertambah.

Kemampuan pemerintah dalam mengamankan harga beras serta pasokan minyak tanah dan elpiji pun tak kunjung membaik. Kelangkaan dan kenaikan harga menjadi peristiwa rutin yang tak pernah bisa dituntaskan. Penanganan bencana juga bertele-tele. Kecelakaan transportasi udara, laut, dan darat mencerminkan lemahnya pemerintah sebagai regulator. Semua itu membawa kita ke jurang pesimisme, terekam dalam jajak pendapat lembaga kajian maupun media. Terlalu sering orang bertanya, mau dibawa ke mana negeri ini?

Maka, ketika Yayasan Indonesia Forum (YIF) meluncurkan Visi Indonesia 2030 dengan target PDB per kapita 18.000 dollar AS dan Indonesia sebagai raksasa ekonomi kelima di dunia, banyak pihak menganggapnya sebagai mimpi. Sebagai catatan, pembuatan visi itu belum usai. Yang ada baru pernyataan visi beserta target-targetnya plus garis besar tahapan yang akan dilalui.

Tentu tidak ada yang salah jika sebuah bangsa punya cita-cita tinggi. Masalahnya, bagaimana mencapai cita-cita itu? Bagaimana cara mewujudkan mimpi itu? Itulah yang belum selesai dibuat. Karena itu, tak bisa disalahkan jika beberapa pihak lalu mengkritisi visi itu Realitasnya, itu baru sebuah cita-cita.

Masalah “ownership”
Masalah berikut adalah ownership. Karena diprakarsai dan dibiayai oleh YIF, kini visi itu sepenuhnya milik YIF secara eksklusif. Kelak, visi itu harus dilaksanakan atau minimal menjadi bahan rujukan setiap pemerintahan. Artinya, jika visi itu akan diwujudkan, harus menjadi dokumen negara yang disepakati semua komponen bangsa. Di sinilah masalahnya. Jangan sampai visi itu hanya menjadi hiasan di rak buku tanpa ada yang melaksanakan. Dikhawatirkan, visi itu kelak menjadi barang dagangan saja.

Esensinya, pembangunan merupakan sebuah transformasi sosial menuju sebuah peradaban lebih modern. Karena itu, unsur paling penting adalah perubahan masyarakat dan manusia di dalamnya. Prasyaratnya adalah adanya sebuah social enginering yang mengerahkan sumber daya masyarakat ke sebuah tujuan yang diinginkan.

Dalam sebuah negara demokratis, rekayasa sosial merupakan sebuah hal yang amat sulit dilakukan karena terjadi tarik- menarik kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang boleh jadi bersifat acak dari waktu ke waktu. Implikasinya, energi sosial bisa habis oleh kerepotan yang bersifat acak. Itulah yang kita hadapi kini, yaitu sebuah kenyataan bahwa kita masing-masing memosisikan diri secara diametral terhadap kepentingan yang lain.
Alternatifnya, kita harus menyusun sebuah kontrak sosial baru yang tidak hanya menyangkut tujuan bersama yang ingin dicapai, tetapi juga meliputi tata nilai, aturan main, karakter, serta infrastruktur sosial.

Modernisasi ekonomi sering berdampak buruk terhadap tatanan sosial. Pengalaman menunjukkan, kemajuan ekonomi tidak selalu disertai tatanan yang lebih beradab.

Artinya, paradigma pembangunan harus diubah 180 derajat, yakni menyiapkan perubahan sosial yang membawa kemakmuran ekonomi dan bukan sebaliknya. Hal demikian adalah beyond economics and technocracy. Untuk mencapai peradaban baru, kita membutuhkan paradigma dan strategi kebudayaan baru.

Iman Sugema Senior Economist, Inter CAFE, Institut Pertanian Bogor

About Indah Sri Wulandari

Gerak Ekonomi untuk Daulat Kemanusiaan Lihat semua pos milik Indah Sri Wulandari

Tinggalkan komentar